Friday, September 9, 2011

UK dream went true (Part I)

Gue udah janji kalau gue bakal nge-post tentang trip gue (dan teman-teman) ke UK pada March 19-April 4 2011, dan sebagai blogger yang baik, teladan, dan tidak pernah membantah orang tua, gue akan menulis tentang itu.

Pertama-tama, ini adalah school trip yang diadakan sekolah gue, BINUS International crap School Serpong, sebenarnya ini adalah program immersion (terjemahan: pembenaman), jadi objective nya adalah kita di blend dengan culture orang-orang dari seluruh dunia. Immersion programme ini dibagi-bagi, ada yang ke UK, US, Spain, China, Bangka Belitung, dan Australia. Gue bertanya-tanya, kenapa gak ada pilihan immersion yang ke North Korea atau Palestine, biar kita bisa belajar sejarah berperang dan sekalian ikutan berperang (dan tidak pulang kembali). Pendek kata, dengan mengambil resiko terhilang di tengah-tengah gurun Sahara, gue ke UK bareng teman-teman. Ini terdengar asik, tapi bagi traveller amatiran seperti gue, ini bakal jadi seperti serial TV Survivors dan semacamnya.

Semua participants ngumpul di Soekarno-Hatta airport pada pukul 3 PM. Karena sebelumnya, person in charge kita, Mr Harold the queer warn kita habis-habisan untuk berada di airport on time atau miss the flight, dan mungkin akan end up immersion di Lebak Bulus (belajar berantem antar fans klub sepakbola). Boarding nya jam 5.15, dan kenyataannya, Mr Harold baru sampai jam 4.30, sebelum dia sampai, gue telpon dia terus-terusan dan berteriak ala cewek, ‘SIIIR, comeee hereee quiccckly’. Alhasil, gue deg-degan parah karena dia ngaret gak kira-kira, dan dia yang possess passport dan ticket kita, saat dia datang, orang-orang langsung menyerbu dia untuk dibagiin passport dan ticket dan buru-buru scan belongings dan check-in.

Terlihat kekhawatiran dari muka gue

Gue, sebagai remaja nanggung yang kebanyakan nonton Amazing Race, sangat excited akan trip ini karena mengira gue akan layaknya berada di Amazing Race, travelling sendiri dengan teman (dan satu queer), tegang karena harus cepet-cepetan beli ticket, dan all that stuff. Ternyata beneran, malah sebelum berangkat udah kerasa kayak Amazing Race, bedanya gue hampir jantungan saking deg-degan.

Setelah perjuangan berat, dan process penyesuaian ketegangan (intinya, pas gue udah tenang), kita akhirnya boarding. Gue jalan sama temen gue, Noel, untuk menenangkan gue. Noel itu, sangat contrast dengan gue, udah terbiasa travel sendirian kemana-mana, jadinya dia tenang aja. Sementara gue, selama ini selalu travel bareng keluarga, jadi kalau ada hal yang gak beres tinggal nanya bokap atau nyokap.

Salah satu contoh Noel udah expert adalah, dia nekat ngantri di queue untuk expatriates pas immigration, gue ngikutin dia, mungkin gue bisa jadi expatriate beneran, seorang tourist dari Cuba. Ternyata bener aja, gak ada yang nge-check kita mau queue dimana. Akhirnya kita duluan bisa get through orang immigration dan lari ke pesawat (gara-gara si queer telat).

Pas sampe pesawat, gue duduk dengan Kharis, Ian duduk dengan Tina, sementara Mr Harold duduk dengan seorang stranger yang terlihat butuh dua seats, eat that! Kita take off dari Jakarta ke Dubai untuk transit (Jakarta-London via Dubai), dan itu sendiri membutuhkan waktu 7 jam, gue tahu gue pasti akan stressed terkurung, pas Taxi, gue juga masih deg-degan akan scene tadi, lari-lari sambil panik ngejar pesawat. Pas udah take off, akhirnya gue bisa tenang.

Selama flight, satu hal sudah pasti, gue frustated. Gue tentu gak bisa main bola atau melakukan hal-hal extreme to kil my bore. Emirates Airlines cukup bijak untuk provide kita ICE (bukan es batu), dimana kita bisa main game, nonton movies, dengar music, etc. Dengan kata game, gue mengharapkan game keren kayak FIFA 11, atau Amnesia (sumpah ini serem). Tetapi, yang ada adalah game cupu (no offense to Emirates, gue gak mau dibantai orang Arab Saudi). Alhasil, gue cuma nonton (itupun gak betah) dan mostly dengerin music. Pas itu, ada seorang Englishman middle-age, gara-gara bosen, gue ngajak ngobrol, tapi kayaknya dia lagi gak mood jadilah gue di ignore. Kebanyakan orang bisa tidur selama flight to Dubai, sementara gue enggak. Mr Harold aja tidur sambil cover kepala dengan selimut (mungkin untuk mencegah di candid), dan ketika Ian meng-candid semua orang sedang tidur, tiba-tiba kebosanan gue mengurang.

196332_1858910163694_1569105212_31907987_5174819_n

Salah satu hasil candid kita

Kekurangan tidur gue awalnya tidak bermasalah, sampai pas kita sampai di Dubai untuk transit 4 jam.

Air hostess Emirates sebelum landing di Dubai Airport announce kalau temperature nya sekitar 20 celcius degree, berarti gak masalah, sementara gue memakai coat tebal dengan alasan… gak cukup ditaruh di backpack gue. Pas gue keluar pesawat, anginnya parah banget. Semua orang photo airportnya, sementara gue, yang berstatus satu-satunya photographer amatir, hanya bisa stretch out karena jujur aja, 7 jam duduk itu gak keren.

Ternyata, rules di Dubai strict, kita gak boleh take photos dan karena airportnya memang besar banget, 1 juta kali lebih besar dari Binus mungkin, kita harus naik shuttle bus untuk ke boarding gate selanjutnya, disinilah kebodohan gue dimulai. Pas turun dari bus dan menuju boarding gate, gue melihat semua orang take pictures, gue juga ikut-ikutan take pictures, entah gue terlalu amatir atau terlalu obvious, ada satu petugas airport yang marah ngelihat gue photo, mungkin dia ngira gue photo dia. Alhasil,gue dipanggil, dengan logat Arabnya, gue bahkan gak ngerti apa yang dia omongin, ternyata gue dipaksa delete photonya. Anjrit, pas itu seriously gue kira gue akan ditahan di airport terus dilaporin ke polisi terus dipenjara, pas itu gue panik banget, dan sialnya, cuma gue yang kena, padahal banyak yang photo.

Belum recover dari kepanikan tadi, kita harus scan belongings lagi, sayangnya, di Dubai semua hal serba strict, kita harus ngelepas belt, bahkan sepatu dan kaos kaki juga dilepas. Gue dengan gemetaran melakukan semua itu. Setelah udah jalan 5 meter-an, gue baru nyadar passport gue ketinggalan. Anjrit, tambah panik, gue ambil, gue masukin tas, panik gue makin menjadi-jadi.

4 jam transit di Dubai mungkin hal yang biasa, tapi bagi gue yang agak sakit dan ditambah kejadian-kejadian itu, hal itu menjadi sangat torture. Sial gue belum berhenti, kita stop di Starbucks, dan karena gue mual (saking paniknya), gue gak minum coffee, dan minum teh (Earl Grey), pas duduk di boarding gate, gue baru nyadar kalau gue gak nambahin gula sama sekali, pahit banget. Tambah sakit gue. Bagus. Gue sempet berkeliling airport dengan Kharis dan Noel karena bosen. Setelah itu, gue beli McChicken dengan harapan gue bisa feel a bit better, sayangnya gak ngaruh.

Sebagai orang yang sok organised, gue mencatat semua spending gue. Sayangnya… gue mencatat itu di sisi belakang ticket gue. Mampus. Banyak hal buruk yang terlintas di otak gue mulai dari 1) gue mungkin ditahan di airport karena ticket invalid sampai 2) gue terpaksa nginep sendirian di airport karena ticket invalid. Mati aja gue, dengan tampang desperate gue bilang ke Mr Harold, ‘Sir, I wrote something on the back of my ticket paper’. Sang guru tercinta udah bikin gue tambah panik, dia bilang, ‘SO? you’re going to have to stay here and we can do nothing’. MATI AJA GUE! 5 menit penuh silence, gue udah mau pingsan saking paniknya. Untungnya, ternyata Ms Devina (person in charge juga), bilang kalau itu gak papa. Sumpah si Harold pengen gue jejelin ticket gue sekalian, kalau gue pingsan karena panik, itu salah dia.

P3200001

Dubai Airport, baru nyadar ada praying room sekarang

Rasa panik gue masih besar saat kita bentar lagi udah boarding. Akhirnya gue sukses… sakit. Pas boarding, gue duduk sama 2 orang strangers, makin parah aja sakit gue, dan flight dari Dubai ke London yang memakan waktu sekitar 8 jam adalah flight terburuk dalam sejarah 15 tahun gue.

(Anyway, takut kepanjangan, lanjut ke part II ya? Ayook)

No comments:

Post a Comment